Pada materi berikut ini, kita akan membahas tentang salah satu penyakit paling ganas di Dunia yaitu HIV atau AIDS. Diharapkan pembaca dapat memahami tentang;
1. Apa Itu Penyakit AIDS yang disebabkan oleh HIV?
2. Bagaimana Tanda-tanda dan gejala HIV?
3. Bagaimana Penularan HIV?
4. Bagaimana Penanggulangan HIV?
5. Bagaimana Pengobatan HIV?
A. Definisi HIV
HIV dalam bahasa Inggris merupakan singkatan dari human imunnodeficiency virus, HIV dalam bahasa Indonesia berarti virus penyebab menurunnya kekebalan tubuh manusia. Virus HIV ini dapat menyebabkan AIDS dengan cara menyerang sel darah putih yang bernama sel CD4 sehingga dapat merusak sistem kekebalan tubuh manusia yang pada akhirnya tidak dapat bertahan dari gangguan penyakit walaupun yang sangat ringan sekalipun. AIDS merupakan kependekan dari Acquired Immunodeficiency Syndrome. Aquired berarti didapat, bukan keturunan. Immune terkait dengan sistem kekebalan tubuh kita. Deficiency berarti kekurangan. Syndrome atau sindrom berarti penyakit dengan kumpulan gejala, bukan gejala tertentu. Jadi, AIDS berarti kumpulan gejala akibat kekurangan atau kelemahan sistem kekebalan tubuh yang dibentuk setelah lahir. Jelasnya AIDS adalah sekumpulan gejala yang timbul akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh manusia yang didapat (bukan karena keturunan) tetapi disebabkan oleh virus HIV (Maryunani & Aeman, 2011).
Virus HIV Penyebab AIDS |
B. Tanda dan Gejala HIV/AIDS
Pembagian stadium HIV:
a. Stadium pertama: HIV infeksi dimulai dengan masuknya HIV dan di ikuti terjadinya perubahan serologis ketika antibodi terhadap virus tersebut berubah dari negatif menjadi positif. Rentang waktu sejak HIV masuk ke dalam tubuh sampai tes antibodi terhadap HIV menjadi positif disebut window period. Lama window period antara satu sampai tiga bulan, bahkan ada yang berlangsung sampai enam bulan.
b. Stadium kedua : Asimptomatik (tanpa gejala). Asimptomatik berarti bahwa di dalam organ tubuh terdapat HIV tetapi tubuh tidak menunjukkan gejala-gejala. Keadaan ini dapat berlangsung rata-rata selama 5-10 tahun. Cairan tubuh penderita HIV/AIDS yang tampak sehat ini sudah dapat menularkan HIV kepada orang lain.
c. Stadium ketiga: Pembesaran kelenjar limfe secara menetap dan merata (persistent generalized lynphadenopathy), tidak hanya muncul pada satu tempat saja dan berlangsung lebih satu bulan.
d. Stadium keempat : AIDS
Keadaan ini disertai adanya bermacam-macam penyakit, antara lain penyakit konstitusional, penyakit saraf dan penyakit infeksi sekunder (Nursalam & Kurniawati, 2011).
Gejala klinis pada stadium AIDS dibagi antara lain :
1) Gejala utama/mayor:
a) Demam berkepanjangan lebih dari tiga bulan.
b) Diare kronis lebih dari satu bulan berulang maupun terus-menerus.
c) Penurunan berat badan lebih dari 10% dalam tiga bulan.
d) TBC.
2) Gejala minor
a) Batuk kronis selama lebih dari satu bulan, Infeksi pada mulut dan tenggorokan disebabkan jamur candida albicans.
b) Pembengkakan kelenjar getah bening yang menetap diseluruh tubuh.
c) Munculnya herpes zoster berulang dan bercak-bercak gatal diseluruh tubuh (Nursalam & Kurniawati, 2011).
C. Penularan HIV/AIDS
Menurut Yasmine (2007), penularan HIV/AIDS terjadi karena beberapa hal di antaranya :
a. Penularan melalui darah dari orang yang terinfeksi HIV.
b. Hubungan seksual dari orang yang terinfeksi HIV tanpa memakai kondom.
c. Hubungan seksual yang berganti-ganti pasangan.
d. Individu yang terpajan ke semen atau cairan vagina sewaktu berhubungan kelamin dengan orang yang terinfeksi HIV. Hubungan seks oral dengan teman kencan yang terinfeksi juga mampu menularkan virus HIV.
e. Orang yang melakukan transfusi darah dengan orang yang terinfeksi HIV.
HIV tidak menular melalui peralatan makanan, pakaian, handuk, sapu tangan, toilet yang dipakai secara bersama-sama, berpelukan di pipi, berjabat tangan, hidup serumah dengan penderita HIV/AIDS, gigitan nyamuk dan hubungan sosial yang lain (Nursalam & Kurniawati, 2011).
D. Perjalanan penyakit HIV
a. Periode jendela
Pada periode ini pemeriksaan tes antibodi HIV masih menunjukkan hasil negatif walaupun virus sudah ada dalam darah klien. Hal itu karena antibodi terbentuk belum cukup terdeteksi melalui pemeriksaan laboratorium. Antibodi terhadap HIV biasanya muncul dalam 3-6 minggu hingga 12 minggu setelah infeksi primer. Pada periode ini klien sudah mampu dan berpotensi menularkan HIV kepada orang lain.
b. Fase infeksi akut
Proses ini dimulai setelah HIV menginfeksi sel target kemudian terjadi proses replikasi yang mengasilkan virus-virus baru yang jumlahnya berjuta-juta virion. Viremia dari begitu banyak virion memicu munculnya sindrom infeksi akut dengan gejala mirip flu yang juga mirip dengan mononukleosa. Sekitar 50-70% orang yang terinfeksi HIV diperkirakan mengalami sindrom infeksi akut selama 3-6 minggu seperti penyakit sejenis influenza yaitu demam, sakit otot, berkeringat, ruam, sakit tenggorok, sakit kepala, keletihan, dan pembengkakan kelenjar limfe. Mual, muntah, anoreksia, diare, dan penurunan berat badan (BB) juga dapat terjadi pada fase ini. Antigen HIV terdeteksi kira-kira 2 minggu setelah infeksi dan dapat terus ada selama 3-5 bulan. Pada fase akut terjadi penurunan limfosit T yang dramatis kemudian terjadi kenaikan limfosit T karena terjadi respon imun. Jumlah limfosit T pada fase ini masih di atas 500 sel/mm3 kemudian akan mengalami penurunan setelah 6 minggu terinfeksi HIV.
c. Fase infeksi laten
Pada fase laten terjadi pembentukan respon imun spesifik HIV dan terperangkapnya virus dalam sel dendritic folikuler (SDF) di pusat germinativum kelenjar limfe. Hal tersebut merupakan virion dapat dikendalikan, gejala hilang dan mulai memasuki fase laten. Pada fase ini jarang ditemukan virion plasma sehingga jumlah virion di plasma menurun karena sebagian besar virus terakumulasi dikelenjar limfe. Fase ini berlangsung sekitar 8-10 tahun setelah terinfeksi HIV. Pada tahun ke delapan setelah terinfeksi HIV akan muncul gejala klinis yaitu demam, banyak keringat pada malam hari, kehilangan BB <10% dan diare.
d. Fase infeksi kronis
Selama fase ini, replikasi virus terus terjadi di dalam kelenjar limfe yang di ikuti dengan kematian SDF karena banyaknya virus. Fungsi kelenjar limfe sebagai perangkap virus menurun atau bahkan hilang dan virus diluncurkan dalam darah. Pada fase ini terjadi peningkatan jumlah virion yang berlebihan. Limfosit semakin tertekan karena infeksi HIV semakin banyak. Pada saat tersebut terjadi penurunan jumlah limfosit T-CD4 hingga di bawah 200 sel/mm3. Kondisi tersebut mengakibatkan sistem imun menurun dan klien semakin rentan terhadap berbagai infeksi sekunder. Perjalanan penyakit semakin progresif yang mendorong ke arah AIDS (Nasronudin, 2007).
E. Diagnosis HIV
Menurut Collein (2010), menyatakan ada beberapa rangkaian tes yang digunakan untuk menegakkan diagnosis HIV/AIDS pertama kali yaitu:
a. Deteksi awal dan periode jendela
Spesifik antibodi diproduksi pada awal setelah terjadinya infeksi virus HIV. Antibodi dapat dideteksi 6-12 minggu sejak pertama kali terinfeksi. Periode jendela mungkin terjadi selama 2-3 minggu tergantung dari jenis tes yang digunakan. Deteksi jumlah virus dapat digunakan untuk menetukan aktivitas virus seperti yang terdapat pada tabel dibawah ini :
Deteksi jumlah virus HIV |
b. Tes untuk screening
Digunakan tes Enzyme-Liked Immunosorbent Assays atau Enzyme Immunoassays (tes ELISA).
c. Tes untuk konfirmasi
Western blok test, indirect immunofluorecent antibodiassay.
d. Tes klasik sebagai alternatif
1) Cairan dari mulut atau tes saliva
Cara ini merupakan cara alternatif yang non invasif. Cairan yang digunakan berasal dari cairan cervicular dari pembuluh darah kapiler di bawah gusi yang merupakan transudat darah. Kosentrasi cairan antibodi sekitar 1/400 dari cairan yang ada dalam plasma. Karena efek dilusi air liur maka tes ini dapat digunakan untuk mendeteksi antibodi dalam jumlah kecil. Keuntungan cara ini adalah cairan mudah didapatkan sehingga efektif digunakan saat sampel darah sulit didapatkan.
2) Tes urine
Penggunaan tes urine dalam memeriksa HIV kurang begitu efektif. Hal itu karena ketika tes urine menunjukkan hasil yang reaktif, masih perlu dilakukan pemeriksaan ELISA dan western blot. Prosedur pemeriksaan laboratorium untuk HIV sesuai dengan panduan Nasional yang berlaku pada saat ini, yaitu dengan menggunakan strategi 3 dan selalu didahului dengan konseling pra test. Untuk pemeriksaan pertama (A1) biasanya digunakan tes cepat dengan sensitifitas yang cukup tinggi, sedangkan untuk pemeriksaan selanjutnya (A2 dan A3) digunakan tes kit dengan spesifitas yang lebih tinggi.
Antibodi biasanya baru dapat terdeteksi sejak 2 minggu hingga 3 bulan setelah terinfeksi HIV. Masa tersebut disebut masa jendela. Oleh karena itu, apabila hasil tes HIV negatif yang dilakukan dalam masa 3 bulan setelah kemungkinan terinfeksi, perlu dilakukan tes ulang, terlebih apabila masih terus terdapat perilaku yang beresiko seperti sex yang tidak terlindung pada klien Infeksi Menular Seksual (IMS), PSK dan pelanggannya, homoseksual, serta pasangan Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA), dan pemakaian alat suntik secara bersamaan diantara para pengguna napza suntikan.
F. Pencegahan HIV
a. Metode perilaku ABCDE
Pencegahan penularan melalui hubungan seksual memegang peranan penting. Oleh karena itu, setiap perlu memiliki perilaku seksual yang aman dan bertanggungjawab, yaitu serangkaian upaya yang sering disebut dengan strategi A, B, C, D E, yaitu:
- Abstinence, yaitu tidak melakukan hubungan seks bebas.
- Be faithful, yaitu selalu setia pada pasangan.
- Condom, yaitu dengan menggunakan pengaman saat melakukan hubungan yang tidak aman atau beresiko.
- Don’t inject, yaitu tidak melakukan penyalahgunaan Napza sama sekali terutama suntikan, termasuk selalu menggunakan jarum steril untuk tindik, tato dan akupuntur.
- Education, selalu berusaha mendapatkan informasi yang edukatif dan benar tentang bahaya HIV/AIDS, kesehatan reproduksi dan Napza.
b. Prevention of mother to child transmission (PMTCT)
Upaya pencegahan penularan dari ibu dan anak dapat dilakukan dengan Prevention of mother to child transmission (PMTCT). Hasil uji coba klinik menunjukkan antiretroviral dapat menurunkan penularan HIV dari ibu ke anak. Ibu dengan HIV/AIDS yang menyusui jangka pendek dapat memperpanjang masa menyusuinya tanpa beresiko menularkan HIV/AIDS pada anaknya.
c. Voluntary counselling and test (VCT)
VCT adalah program pencegahan HIV/AIDS di masyarakat saat ini yang terbukti efektif serta dapat memudahkan orang mengakses berbagai pelayanan kesehatan yang dibutuhkan. Pelayanan VCT dapat digunakan untuk mengubah perilaku beresiko dan memberikan informasi tentang pencegahan HIV. ODHA akan mendapatkan pengetahuan tentang cara penularan, pencegahan dan pengobatan terhadap HIV.
d. Harm reduction
Harm reduction merupakan program pengurangan dampak buruk penularan HIV pada kelompok beresiko tinggi dan populasi umum. Bentuk program ini seperti penggantian alat suntik dan pertukaran alat suntik, serta terapi rumatan, terbukti efektif menghambat penularan HIV diantara pengguna jarum suntik (Widyanto & Triwibowo, 2013).
G. Pengobatan HIV
ODHA pada semua stadium membutuhkan perawatan paliatif dan pengobatan simtomatis untuk mengilangkan gejala dan rasa sakit. Perawatan dan pengobatan tersebut diharapkan dapat meningkatkan kualitas dan memperpanjang usia harapan hidup ODHA. Sementara itu sampai saat ini belum ditemukan obat maupun vaksin yang efektif. Sehingga pengobatan HIV/AIDS dapat dilakukan dengan terapi suportif, pengobatan infeksi oportunistik dan pengobatan antiretroviral (ARV).
Terapi suportif bertujuan untuk meningkatkan keadaan umum ODHA. Tetapi ini terdiri dari pemberian gizi yang baik, obat simpomatik, vitamin, dan dukungan psikososial agar ODHA dapat melakukan aktivitas seperti semula atau seoptimal mungkin. Sedangkan pengobatan infeksi oportunistik dapat dilakukan secara empiris. Saat ini, pengobatan dengan ARV masih menjadi penanganan utama untuk ODHA. Cara kerja ARV adalah menghambat replikasi virus dalam tubuh klien HIV/AIDS. ARV bekerja langsung menghambat enzim reserve transcriptase atau menghambat kerja enzim protease. Terapi ARV belum dapat membutuhkan atau membunuh virus.
Terapi ARV dimulai setelah seseorang didiagnosis terinfeksi HIV disertai salah satu kondisi berikut :
a. Secara klinis sebagai penyakit tahap lanjut dari infeksi HIV.
b. Infeksi HIV stadium IV, tanpa memandang jumlah CD4.
c. Infeksi HIV stadium III dengan jumlah CD4 <350/mm3.
d. Infeksi stadium I atau II dengan jumlah CD4 <200 mm3.
Tingkat keberhasilan pengobatan ARV tergantung dari respon individu dan kepatuhan ODHA. Beberapa indikator keberhasilan pengobatan ARV di antaranya adalah meningkatkan BB, tidak mengalami infeksi oportunistik dan terjadi peningkatan CD4 yang diperiksa 3-6 bulan setelah terapi (Widyanto & Triwibowo, 2013).