Pengertian, Komplikasi, Resiko, Manfaat dan Syarat Transfusi Darah, Transfusi
darah merupakan satu dari banyak kegiatan yang sering dilakukan di Rumah Sakit
pada penyakit-penyakit tertentu. Tindakan transfusi darah merupakan tindakan
invasif dengan memasukkan darah atau kompone yang ada dalam darah pendonor
darah kedalam sirkulasi darah pasien dengan tujuan memenuhi kebutuhan pasien
akan komponen darah. Data World Health Organization (2011), terdapat lebih dari
92 juta kantong darah yang didonasikan dari berbagai tipe golongan darah dari
62 negara dengan 39 negara diantaranya tidak melakukan pemeriksaan rutin untuk Transfusion-Transmissible
infection (TTiS) yang meliputi HIV, Hepatitis B, Hepatitis C, dan Syphilis
(World Health Organization, 2011).
![]() |
transfusi darah |
A. Pengertian Transfusi Darah
Transfusi darah adalah pemindahan darah dari satu orang
(donor) ke dalam pembuluh darah orang lain (resipien). Hal ini biasanya
dilakukan sebagai manuver penyelamatan nyawa (life-saving) untuk menggantikan
darah yang hilang karena perdarahan hebat, saat operasi ketika terjadi
kehilangan darah atau untuk meningkatkan jumlah darah pada pasien anemia.
B.
Komponen Darah Transfusi
1. Whole blood
Whole blood (darah lengkap) biasanya disediakan hanya untuk
transfusi pada perdarahan masif. Whole blood biasa diberikan untuk perdarahan
akut, shock hipovolemik serta bedah mayor dengan perdarahan > 1500 ml. Whole
blood akan meningkatkan kapasitas pengangkutan oksigen dan peningkatan volume
darah. Transfusi satu unit whole blood akan meningkatkan hemoglobin 1 g/dl.
2. Packed Red Blood Cell
(PRBC)
PRBC mengandung hemoglobin yang sama dengan whole blood,
bedanya adalah pada jumlah plasma, dimana PRBC lebih sedikit mengandung plasma.
Hal ini menyebabkan kadar hematokrit PRBC lebih tinggi dibanding dengan whole
blood, yaitu 70% dibandingkan 40%. PRBC biasa diberikan pada pasien dengan
perdarahan lambat, pasien anemia atau pada kelainan jantung. Saat hendak
digunakan, PRBC perlu dihangatkan terlebih dahulu hingga sama dengan suhu tubuh
(37ºC). bila tidak dihangatkan, akan menyulitkan terjadinya perpindahan oksigen
dari darah ke organ tubuh.
3. Plasma Beku Segar (Fresh
Frozen Plasma)
Fresh frozen plasma (FFP) mengandung semua protein
plasma (faktor pembekuan), terutama faktor V dan VII. FFP biasa diberikan
setelah transfusi darah masif, setelah terapi warfarin dan koagulopati pada
penyakit hati. Setiap unit FFP biasanya dapat menaikan masing-masing kadar
faktor pembekuan sebesar 2-3% pada orang dewasa. Sama dengan PRBC, saat hendak
diberikan pada pasien perlu dihangatkan terlebih dahulu sesuai suhu tubuh.
4.
Trombosit
Transfusi trombosit diindikasikan pada pasien dengan
trombositopenia berat (<20.000 sel/mm3) disertai gejala klinis perdarahan.
Akan tetapi, bila tidak dijumpai gejala klinis perdarahan, transfusi trombosit
tidak diperlukan. Satu unit trombosit dapat meningkatkan 7000-10.000
trombosit/mm3 setelah 1 jam transfusi pada pasien dengan berat badan 70 kg.
banyak faktor yang berperan dalam keberhasilan transfusi trombosit diantaranya
splenomegali, sensitisasi sebelumnya, demam, dan perdarahan aktif.
5.
Kriopresipitat
Kriopresipitat
mengandung faktor VIII dan fibrinogen dalam jumlah banyak. Kriopresipitat
diindikasikan pada pasien dengan penyakit hemofilia (kekurangan faktor VIII)
dan juga pada pasien dengan defisiensi fibrinogen.
C.
Komplikasi Transfusi Darah dan Penanganannya
1. Reaksi hemolitik
Reaksi yang terjadi biasanya adalah penghancuran sel darah
merah donor oleh antibodi resipien dan biasanya terjadi karena ketidakcocokan
golongan darah ABO yang dapat disebabkan oleh kesalahan mengidentifikasikan
pasien, jenis darah atau unit transfusi. Pada orang sadar, gejala yang
dialami berupa menggigil, demam, nyeri dada dan mual. Pada orang dalam keadaan
tidak sadar atau terbius, gejala berupa peningkatan suhu tubuh, jantung
berdebar-debar, tekanan darah rendah dan hemoglobinuria. Berat ringannya gejala
tersebut tergantung dari seberapa banyak darah yang tidak cocok ditransfusikan.
2. Reaksi non hemolitik
Reaksi ini terjadi karena sensitisasi resipien terhadap sel
darah putih, trombosit atau protein plasma dari donor. Gejalanya antara lain
demam, urtikaria yang ditandai dengan kemerahan, bintik-bintik merah dan gatal
tanpa demam, reaksi anafilaksis, edema paru, hiperkalemia dan asidosis.
3. Infeksi
Resiko penularan penyakit infeksi melalui transfusi darah
bergantung pada berbagai hal antara lain; angka kejadian penyakit di
masyarakat, keefektifan skrining yang dilakukan, kekebalan tubuh resipien dan
jumlah donor tiap unit darah. Beberapa infeksi yang biasa terjadi adalah virus
hepatitis, HIV, Citomegalovirus, bakteri stafilokokus, yesteria dan parasit
malaria.
Penanggulangan komplikasi transfusi :
- Stop
transfusi
- Naikan
tekanan darah dengan cairan infus, jika perlu tambahkan obat-obatan.
- Berikan
oksigen 100%
- Pemberian
obat-obatan diuretik manitol atau furosemid
- Obat-obatan
antihistamin
- Obat-obatan
steroid dosis tinggi
- Periksa
analisa gas dan pH darah.
D. Berikut ini reaksi dan resiko
yang mungkin timbul akibat tranfusi darah:
1. Reaksi Transfusi
Transfusi
darah kadang menyebabkan reaksi transfusi. Ada jenis reaksi transfusi yang
buruk dan ada yang moderat. Reaksi transfusi bisa segera terjadi setelah
transfusi dimulai, namun ada juga reaksi yang terjadi beberapa hari atau bahkan
lebih lama setelah transfusi dilakukan.
Untuk
mencegah terjadinya reaksi yang buruk, diperlukan tindakan pencegahan sebelum
transfusi dimulai. Jenis darah diperiksa berkali-kali, dan dilakukan
cross-matched untuk memastikan bahwa jenis darah tersebut cocok dengan jenis
darah dari orang yang akan mendapatkannya. Setelah itu, perawat dan teknisi
laboratorium bank darah mencari informasi tentang pasien dan informasi pada
unit darah (atau komponen darah) sebelum dikeluarkan. Informasi ini dicocokkan
sekali lagi di hadapan pasien sebelum transfusi dimulai.
2. Reaksi Alergi
Alergi
merupakan reaksi yang paling sering terjadi setelah transfusi darah. Hal ini
terjadi karena reaksi tubuh terhadap protein plasma dalam darah donor. Biasanya
gejala hanya gatal-gatal, yang dapat diobati dengan antihistamin seperti diphenhydramine
(Benadryl).
3. Reaksi Demam
Orang
yang menerima darah mengalami demam mendadak selama atau dalam waktu 24 jam
sejak transfusi. Sakit kepala, mual, menggigil, atau perasaan umum
ketidaknyamanan mungkin bersamaan dengan demam. Acetaminophen (Tylenol) dapat
meredakan gejala-gejala ini.
Reaksi-reaksi
tersebut terjadi sebagai respon tubuh terhadap sel-sel darah putih dalam darah
yang disumbangkan. Hal ini lebih sering terjadi pada orang yang pernah mendapat
transfusi sebelumnya dan pada wanita yang pernah beberapa kali mengalami
kehamilan. Jenis-jenis reaksi juga dapat menyebabkan demam, dan pengujian lebih
lanjut mungkin diperlukan untuk memastikan bahwa reaksi ini hanya demam.
Pasien
yang mengalami reaksi demam atau yang beresiko terhadap reaksi tranfusi lainnya
biasanya diberikan produk darah yang leukositnya telah dikurangi. Artinya,
sel-sel darah putih telah hilang setelah melalui filter atau cara lainnya.
4. Reaksi hemolitik kekebalan akut
Ini
adalah jenis yang paling serius dari reaksi transfusi, tetapi sangat jarang
terjadi. Reaksi hemolitik kekebalan akut terjadi ketika golongan darah donor
dan pasien tidak cocok. Antibodi pasien menyerang sel-sel darah merah yang
ditransfusikan, menyebabkan mereka mematahkan (hemolyze) dan melepaskan zat-zat
berbahaya ke dalam aliran darah.
Pasien
mungkin menggigil, demam, nyeri dada dan punggung bawah, serta mual. Ginjal
dapat rusak parah, dan dialisis mungkin diperlukan. Reaksi hemolitik dapat
mematikan jika transfusi tidak dihentikan segera saat reaksi dimulai.
5. Reaksi hemolitik tertunda
Reaksi
ini terjadi ketika tubuh perlahan-lahan menyerang antigen (antigen selain ABO)
pada sel-sel darah yang ditransfusikan. Sel-sel darah mengalami pemecahan
setelah beberapa hari atau minggu transfusi dilakukan. Biasanya tidak ada
gejala, tetapi sel-sel darah merah yang ditransfusikan hancur dan dan jumlah
sel darah merah pasien mengalami penurunan. Dalam kasus yang jarang ginjal
mungkin akan terpengaruh, dan pengobatan mungkin diperlukan.
Seseorang
mungkin tidak mengalami jenis reaksi seperti ini kecuali mereka pernah mendapat
transfusi di masa lalu. Orang-orang yang mengalami jenis reaksi hemolitik
tertunda ini perlu menjalani tes darah khusus sebelum menerima transfusi darah
kembali. Unit darah yang tidak memiliki antigen yang menyerang tubuh harus
digunakan.
6. Transfusi yang berhubungan dengan
cedera paru akut
Transfusi
yang berhubungan dengan cedera paru akut (Transfusion-related acute lung injury
–TRALI) adalah reaksi transfusi yang sangat serius yang terjadi pada sekitar 1
dari setiap 5.000 transfusi. Hal ini dapat terjadi pada semua jenis transfusi,
tetapi mereka yang mengandung plasma yang berlebihan, seperti plasma beku segar
atau trombosit, tampaknya lebih mungkin mengalami resiko ini. Kasus ini sering terjadi
dalam waktu 1 sampai 2 jam sejak transfusi, tetapi dapat terjadi kapan saja
sampai 6 jam setelah transfusi.
Ada
juga sindrom TRALI yang tertunda yang terjadi hingga 72 jam setelah transfusi
diberikan. Gejala utama dari TRALI adalah kesulitan bernapas. Jika TRALI
dicurigai selama transfusi, maka transfusi harus segera dihentikan.
Para
dokter percaya bahwa ada beberapa faktor yang terkait dengan resiko TRALI, dan
obat-obatan tampaknya tidak dapat menghindari resiko ini. Banyak pasien yang
mengalami TRALI akhirnya menjalani operasi, trauma, pengobatan kanker,
transfusi, atau mengalami infeksi aktif. Pada umumnya, TRALI hilang dalam 2
atau 3 hari jika diberi bantuan napas dan tekanan darah, tapi meskipun bantuan
ini diberikan, tetap saja ada kemungkinan kematian sekitar 5% sampai 10% dari
kasus.
7. Graft-versus-host disease
Graft-versus-host
disease (GVHD) terjadi ketika seseorang dengan sistem kekebalan tubuh yang
sangat lemah mendapat sel darah putih dalam produk darah yang ditransfusikan.
Sel-sel darah putih dari transfusi menyerang jaringan pasien yang mendapat
darah.
Hal
ini lebih mungkin terjadi jika darah berasal dari keluarga atau seseorang yang
memiliki jenis jaringan yang sama dengan pasien. Sistem kekebalan tubuh pasien
tidak mengenali sel-sel darah putih dalam darah yang ditransfusikan, sehingga
dianggap sebagai benda asing. Hal ini memungkinkan sel-sel darah putih
melakukan pertahanan diri dan menyerang jaringan tubuh pasien.
Dalam
waktu satu bulan sejak transfusi, pasien mungkin mengalami demam, masalah
liver, ruam, dan diare. Untuk mencegah agar sel-sel darah putih tidak
menyebakan GVHD, darah yang disumbangkan harus menjalani radiasi sebelum
transfusi. (Radiasi membuat sel darah putih tidak mempengaruhi sel-sel darah
merah.)
8. Infeksi
Transfusi
darah dapat menjadi jalan masuk bagi bakteri, virus, dan parasit yang
menyebabkan infeksi. Di negara seperti Amerika Serikat kemungkinan infeksi
akibat transfusi sangat rendah. Dengan adanya unit pengujian darah terhadap
kuman yang dapat menyebabkan infeksi telah membantu memastikan darah sangat
aman, namun perlu kita sadari bahwa tidak ada pengujian yang 100% akurat.
9. Kontaminasi Bakteri
Jarang
sekali darah terkontaminasi dengan sejumlah kecil bakteri kulit selama
melakukan donor darah. Namun, trombosit adalah komponen darah yang paling
mungkin mengalami kontaminasi bakterial. Oleh sebab itu trombosit harus
disimpan pada suhu kamar, karena bakteri dapat tumbuh dengan cepat. Menurut
penelitian, sekitar 1 dari setiap 5.000 unit trombosit yang disumbangkan
terkontaminasi. Pasien yang mendapatkan trombosit yang terkontaminasi dapat
segera mengalami penyakit yang lebih serius setelah transfusi dimulai.
Pada
tahun 2004, bank darah mulai melakukan pengujian terhadap trombosit, sehingga
mereka dapat membuang unit darah terkontaminasi yang mungkin menyebabkan
kerusakan. Pengujian ini masih terus disempurnakan, namun dari waktu ke waktu
semakin sedikit penyakit yang disebabkan oleh masalah kontaminasi trombosit.
Disamping itu, semakin banyak rumah sakit menggunakan trombosit apheresis, yang
memiliki risiko yang lebih rendah dari kontaminasi bakteri.
10. Hepatitis B dan C
Virus
yang menyerang hati menyebabkan berbagai bentuk hepatitis. Hepatitis merupakan
penyakit yang paling umum ditularkan melalui transfusi darah. Hasil dari sebuah
penelitian 2009 terhadap hepatitis B dalam darah yang disumbangkan mengemukakan
bahwa risiko penularan virus ini sekitar 1 dalam setiap 350.000 unit, atau
sekitar 1 dibanding 1,6 juta transfusi darah dapat menularkan hepatitis C.
Berbagai
penelitian terus dilakukan untuk mengurangi risiko infeksi tersebut. Dalam
kebanyakan kasus tidak ada gejala, tetapi hepatitis kadang-kadang dapat
menyebabkan kegagalan hati dan masalah lainnya.
Beberapa
langkah secara rutin telah dilakukan untuk mengurangi risiko hepatitis dari
transfusi darah. Para calon donor darah diajukan pertanyaan sehubungan dengan
faktor risiko hepatitis dan gejala hepatitis. Darah yang disumbangkan juga
diuji untuk menemukan virus hepatitis B, virus hepatitis C, dan masalah hati
yang mungkin menjadi tanda jenis hepatitis lainnya.
11. Human immunodeficiency virus
(HIV)
Salah
satu rute utama penularan HIV adalah melalui kontak langsung antara darah
dengan darah yang terinfeksi HIV. Meskipun sebagian besar infeksi HIV melalui
darah terjadi melalui penggunaan suntikan narkoba, namun di seluruh dunia
sejumlah kasus penularan HIV terjadi melalui transfusi darah, suntikan medis,
limbah medis dan paparan kerja.
Pengujian
HIV atas setiap unit darah yang disumbangkan mulai dilakukan pada tahun 1985,
dan semua darah yang disumbangkan hingga saat ini dites HIV. Dengan pengujian
yang semakin ditingkatkan dari waktu ke waktu, maka jumlah kasus AIDS yang
terkait dengna transfusi terus menurun.
12. Infeksi Lainnya
Seiring
dengan pengujian yang disebutkan di atas, semua darah sebelum transfusi diuji
untuk mengetahui apakah beresiko terhadap penularan sifilis, HTLV-I dan HTLV-II
(virus terkait dengan T-cell leukemia / limfoma manusia). Sejak tahun 2003,
darah yang disumbangkan juga diuji untuk mengetahui virus West Nile, yang
terbaru adalah pengujian atas penyakit Chagas (penyakit umum di Amerika Selatan
dan Tengah).
Penyakit
yang disebabkan oleh bakteri tertentu, virus, dan parasit, seperti Babesiosis,
malaria, penyakit Lyme, dan lain-lain juga dapat ditularkan melalui transfusi
darah. Tapi karena donor potensial disaring dengan pertanyaan tentang status
kesehatan dan perjalanan mereka, maka kasus-kasus penularan penyakit akibat
tranfusi seperti di atas semakin jarang terjadi.
E. Syarat Transfusi (donor) darah
Untuk dapat menyumbangkan darah, seseorang mengisi formulir
pendaftaran dan secara umum harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
- calon
donor harus berusia 17-60 tahun,
- berat
badan minimal 45 kg
- kadar
hemoglobin >12,5 gr%
- tekanan
darah 100-160 (sistol)
dan 70-100 (diastol).
- temperatur
tubuh antara 36,6-37,5 derajat Celcius
- tidak
mengalami gangguan pembekuan darah (hemofilia)
- denyut
nadi antara 50-100 kali/menit
- kadar hemoglobin baik pria maupun perempuan
minimal 12,5 gram
- tidak
pernah menyumbangkan darah dalam jangka waktu 3 bulan sebelumnya
- untuk
menjaga kesehatan dan keamanan darah, calon donor tidak boleh pernah atau
sedang menderita sakit seperti alkoholik, penyakit hepatitis, diabetes
militus, epilepsi, atau kelompok masyarakat risiko tinggi mendapatkan AIDS
serta mengalami sakit seperti demam atau influensa; baru saja dicabut
giginya kurang dari tiga hari; pernah menerima transfusi kurang dari
setahun; begitu juga untuk yang belum setahun menato, menindik, atau
akupunktur; hamil; atau sedang menyusui.
F.
Manfaat Transfusi Darah
Berikut Manfaat mendonorkan darah bagi
kesehatan
1. Mengurangi
resiko Hemochromatosis
Manfaat donor darah untuk kesehatan termasuk
penurunan risiko hemochromatosis. Hemochromatosis adalah suatu kondisi
kesehatan dimana seseorang mengalami kelebihan penyerapan zat besi oleh tubuh.
Kondisi seperti ini bisa diwariskan atau, mungkin juga bisa disebabkan
karena alk*holisme, anemia atau gangguan lainnya. Donor darah yang dilakukan
secara teratur dapat membantu mengurangi kelebihan zat besi. Namun Pastikan jika
pendonor memang memenuhi kriteria kelayakan standard pendonor darah.
2. Mengurangi
resiko kanker
Donor darah juga dapat membantu menurunkan
risiko kanker. Dengan menyumbangkan darah, maka simpanan zat besi didalam tubuh
akan dipertahankan pada tingkat yang sehat. Jumlah kadar zat besi dalam tubuh
yang seimbang dikaitkan dengan risiko kanker yang lebih rendah.
3. Jantung
dan organ hati sehat
Donor darah juga bermanfaat dapat mengurangi
risiko penyakit jantung dan hati yang disebabkan oleh kelebihan zat besi dalam
tubuh. Asupan makanan yang kaya zat besi dapat meningkatkan kadar zat besi
dalam tubuh, karena zat besi hanya digunakan terbatas, maka kelebihan zat besi
akan diserap dan disimpan didalam hati dan pankreas. Pada akhirnya hal seperti
ini dapat meningkatkan risiko sirosis, gagal hati, kerusakan pankreas, dan
kelainan jantung seperti irama jantung yang tidak teratur. Donor darah bisa
membantu untuk menjaga kadar zat besi seimbang dan dapat mengurangi risiko
berbagai penyakit.
4. Mengurangi
Berat badan
Donor darah yang dilakukan secara teratur
dapat mengurangi berat pendonor. Oleh karena itu bermanfaat juga bagi yang
mengalami obesitas . Obesitas adalah beresiko tinggi terhadap penyakit darah
tinggi, penyakit jantung serta masih banyaik rsiko gangguan kesehatan yang
lainnya. Namun demikian, donor darah tidak harus sangat sering dilakukan,
sebelumnya Anda dapat berkonsultasi dengan dokter untuk menghindari masalah
kesehatan.
5. Sel
darah baru
Setelah mendonorkan darah, tubuh akan bekerja
untuk mengisi kembali kehilangan darah. Hal ini justru baiik, karena akan
merangsang produksi sel-sel darah baru dan pada gilirannya membantu dalam
menjaga kesehatan yang baik. Artinya darah Anda akan segera tergantikan oleh
darah baru yang tentunya lebih baik dan sehat.
It's an remarkable paragraph in favor of all the online people; they will get advantage from it I am sure.
ReplyDelete